Dampak Ekonomi Kabut Asap Rp20 triliun Lebih
Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Sutopo Purwo Nugroho, mengatakan angka itu didasarkan pada data tahun lalu.
Terungkap bahwa kerugian akibat kabut asap 2014 yang dihitung selama tiga bulan dari Februari sampai April hanya dari Provinsi Riau mencapai Rp20 triliun.
Namun dari jumlah wilayah yang terkena serta tingkat keparahan kabut asap yang terjadi tahun ini, Sutopo memperkirakan jumlah kerugian kali ini akan lebih besar.
"Ya pasti. Kalau melihat skalanya lebih luas, pasti lebih tinggi (kerugiannya). Pada 2014 terkonsentrasi terutama di Riau, sekarang lebih meluas penyebaran asapnya di Sumatera dan Kalimantan. Saya lagi menghitung ini (kerugiannya)," kata Sutopo.
Kebakaran hutan dan lahan serta kabut asap tahun ini terjadi di Sumatera Selatan, Jambi, Riau, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Selatan.
Perhitungan ekonomi tersebut nantinya akan berdasar pada angka produk domestik regional bruto (PDRB) bulanan masing-masing provinsi, dan membandingkan jumlah regulernya dengan pemasukan provinsi pada bulan-bulan terjadi kabut asap.
Menurut Sutopo, ada beberapa provinsi yang perhitungan kerugiannya dilakukan berdasarkan PDRB bulan Agustus dan provinsi lain pada bulan September, tergantung bulan-bulan di mana jumlah hotspot (titik api) terdeteksi paling banyak, begitu pula asapnya.
"Parah-parahnya (kabut asap) mulai 1 September. Hitungan saya lebih dari Rp20 triliun dibanding 2014," ujar Sutopo lagi.
Produk domestik regional bruto, menurut Sutopo, akan mencatat perputaran uang dalam suatu daerah. Jumlah penerbangan yang gagal terbang, hotel, industri makanan, kontrak bisnis yang batal, atau berkurangnya wisatawan akan tercermin dalam data PDRB.
Namun angka kerugian finansial ini belum memasukkan elemen kerugian dari sisi pengeluaran atau dampak kesehatan, hilangnya keanekaragaman hayati, atau perhitungan emisi gas rumah kaca.
BNPB sudah menganggarkan Rp385 miliar untuk pemadaman lahan dan hutan yang terbakar.
Dalam rapat dengar pendapat di DPR Rabu (16/9) malam, Dewan Perwakilan Rakyat juga menyetujui penambahan anggaran Rp650 miliar untuk Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Anggaran ini nantinya akan digunakan untuk menanggulangi kebakaran hutan dan lahan serta kabut asap.
"Pesawat yang tidak bisa terbang, menunggu, itu sudah ada pengeluaran ekstra. Pesawat kan harus terbang terus ya untuk membawa pemasukan. Lalu terbang, tapi tak bisa mendarat, berputar-putar, itu juga bahan bakarnya ekstra," kata Gerry.
Pesawat-pesawat yang terbang berputar-putar juga akan menaikkan jam terbang sehingga meningkatkan usia pesawat lebih cepat dari seharusnya dan membuat biaya perawatan lebih mahal.
Menurut Gerry, ada juga potensi maskapai kehilangan kepercayaan dari penumpang.
"Di kondisi seperti ini, penumpang belum tentu menerima kalau ini (tidak bisa terbang) bukan salah dari maskapai. Penumpang tidak mau tahu, ada yang begitu, 'pokoknya yang salah airline'," kata Gerry. (source: bbc indonesia)
Terungkap bahwa kerugian akibat kabut asap 2014 yang dihitung selama tiga bulan dari Februari sampai April hanya dari Provinsi Riau mencapai Rp20 triliun.
Namun dari jumlah wilayah yang terkena serta tingkat keparahan kabut asap yang terjadi tahun ini, Sutopo memperkirakan jumlah kerugian kali ini akan lebih besar.
"Ya pasti. Kalau melihat skalanya lebih luas, pasti lebih tinggi (kerugiannya). Pada 2014 terkonsentrasi terutama di Riau, sekarang lebih meluas penyebaran asapnya di Sumatera dan Kalimantan. Saya lagi menghitung ini (kerugiannya)," kata Sutopo.
Kebakaran hutan dan lahan serta kabut asap tahun ini terjadi di Sumatera Selatan, Jambi, Riau, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Selatan.
Perhitungan ekonomi tersebut nantinya akan berdasar pada angka produk domestik regional bruto (PDRB) bulanan masing-masing provinsi, dan membandingkan jumlah regulernya dengan pemasukan provinsi pada bulan-bulan terjadi kabut asap.
Menurut Sutopo, ada beberapa provinsi yang perhitungan kerugiannya dilakukan berdasarkan PDRB bulan Agustus dan provinsi lain pada bulan September, tergantung bulan-bulan di mana jumlah hotspot (titik api) terdeteksi paling banyak, begitu pula asapnya.
"Parah-parahnya (kabut asap) mulai 1 September. Hitungan saya lebih dari Rp20 triliun dibanding 2014," ujar Sutopo lagi.
Produk domestik regional bruto, menurut Sutopo, akan mencatat perputaran uang dalam suatu daerah. Jumlah penerbangan yang gagal terbang, hotel, industri makanan, kontrak bisnis yang batal, atau berkurangnya wisatawan akan tercermin dalam data PDRB.
Namun angka kerugian finansial ini belum memasukkan elemen kerugian dari sisi pengeluaran atau dampak kesehatan, hilangnya keanekaragaman hayati, atau perhitungan emisi gas rumah kaca.
BNPB sudah menganggarkan Rp385 miliar untuk pemadaman lahan dan hutan yang terbakar.
Dalam rapat dengar pendapat di DPR Rabu (16/9) malam, Dewan Perwakilan Rakyat juga menyetujui penambahan anggaran Rp650 miliar untuk Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Anggaran ini nantinya akan digunakan untuk menanggulangi kebakaran hutan dan lahan serta kabut asap.
Kekurangan pendapatan
PT Angkasa Pura II sebagai pengelola beberapa bandara yang terkena dampak kabut asap juga mengakui, dalam sepekan terakhir, mereka kehilangan pendapatan, terutama dari Tarif Pelayanan Jasa Penumpang Pesawat Udara atau biasa dikenal dengan passenger service charge (PSC)."Pesawat yang tidak bisa terbang, menunggu, itu sudah ada pengeluaran ekstra. Pesawat kan harus terbang terus ya untuk membawa pemasukan. Lalu terbang, tapi tak bisa mendarat, berputar-putar, itu juga bahan bakarnya ekstra," kata Gerry.
Pesawat-pesawat yang terbang berputar-putar juga akan menaikkan jam terbang sehingga meningkatkan usia pesawat lebih cepat dari seharusnya dan membuat biaya perawatan lebih mahal.
Menurut Gerry, ada juga potensi maskapai kehilangan kepercayaan dari penumpang.
"Di kondisi seperti ini, penumpang belum tentu menerima kalau ini (tidak bisa terbang) bukan salah dari maskapai. Penumpang tidak mau tahu, ada yang begitu, 'pokoknya yang salah airline'," kata Gerry. (source: bbc indonesia)
Post a Comment